Sabtu, 10 Disember 2011

BESARNYA makna DOA YANG KITA LUPAKAN


- semasa duduk antara dua sujud..

Doa antara dua sujud
Dalam tidak sedar. Setiap hari kita memohon didalam solat kita..tetapi sayangnya,
kita hanya memohon tanpa memahami.. sekadar tersebut dibibir, tetapi tidak tersentuh dari hati kita selama ini..

Marilah kita mula menghayati ketika kita duduk di antara dua sujud semasa solat..Dengan rendah hati nyatakanlah permohonan ampun kepada Allah

Rabbighfirli (Tuhanku, ampuni aku)

Diamlah sejenak, buka dada dan diri kita untuk menerima ampunan dari Allah seperti membuka diri ketika merasakan hembusan angin sepoi-sepoi atau menerima curahan air hujan ketika kita masih kecil.

Tetaplah membuka diri kita untuk menerima ampunan Allah
Ulangi permintaan itu beberapa kali hingga kita merasakan ketenangan Kemudian sampaikanlah permintaan kedua,

Warhamni (sayangi aku)

Diam dan tundukkanlah diri kita untuk menerima kasih-sayang Allah yang tak terhitung besarnya.
Bukalah dada kita seluas-luasnya agar semakin banyak kasih-sayang Allah yang kita terima
Ulanglah beberapa kali hingga kita merasa cukup Berturut-turut sampaikanlah permintaan2 berikut dengan cara sebagaimana tersebut di atas, satu persatu..

Wajburnii (tutuplah aib-aibku)

Warfa'nii (angkatlah darjatku)

Warzuqnii (berilah aku rezeki)

Wahdinii (berilah aku petunjuk)

Wa'Aafinii (sihatkan aku)

Wa'fuannii (maafkan aku)

Setelah selesai, diamlah sejenak lalu sampaikan rasa syukur kita;

Betapa besarnya nilai sebuah doa ini..sebuah doa yang kita hanya lewatkan begitu sahaja..

AMANAH



Amanah Ketika fitrah tetap lurus dan selamat dari mengikuti hawa nafsu, hal itu tergambar pada pemiliknya dengan sifat amanah. Dan dalam firman Allah S.W.T:
إِنَّا عَرَضْنَا اْلأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا اْلإِنسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh, (QS. Al-Ahzab:72)

Al-Qurthubi berkata:  amanah meliputi semua tugas agama menurut pendapat yang paling kuat. Sebagaimana Allah S.W.T.  berkata dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ هُمْ لأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, (QS. Al-Mu'minun:8)

Amanah dan janji menggabungkan semua yang dipikul manusia berupa perkara agama dan dunia, ucapan dan perbuatan. Dan hal ini meliputi pergaulan dengan manusia, janji-janji, dan selain yang demikian itu. Dan kesudahan yang demikian itu adalah menjaga dan melaksanakannya.

Ketika amanah meliputi segala hal, yang diberi amanah harus menunaikan amanahnya, sama saja ia diberi amanah terhadap harta yang banyak atau hanya satu dinar. Karena Allah S.W.T.  memerintahkan menunaikan amanah kepada pemiliknya, dan melarang berkhianat kepada Allah S.W.T. dan Rasul-Nya, serta melarang mengkhianati semua amanah mereka.  Dan Dia menjadikan di antara sifat orang-orang yang beruntung adalah bahwa sesungguhnya mereka menjaga janji dan amanah mereka. Dan jiwa manusia dengan fitrahnya cenderung kepada pemberi nasehat yang dipercaya (al-Amin) dan berpegang kepada orang yang kuat lagi dipercaya, sehingga non muslim mengutamakan orang yang amanah.

 Diriwayatkan dalam cerita penduduk Najran, tatkala mereka setuju membayar jizyah, sesungguhnya mereka berkata:  'Sesungguhnya kami memberikan kepadamu apa-apa yang engkau minta kepada kami, utuslah bersama kami seorang laki-laki yang amin (dipercaya), dan janganlah engkau mengutus bersama kami kecuali orang yang amanah.' Maka beliau S.A.W.  bersabda:
َلأَبْعَثَنَّ مَعَكُمْ رَجُلاً أَمِيْنًا حَقَّ أَمِيْنٍ'
Sungguh aku akan mengutus seorang laki-laki yang amanah bersamamu, orang yang benar-benar amanah.' Dan beliau mengirim Abu Ubaidah.

Sesungguhnya di antara rezki tiada taranya yang diberikan Allah S.W.T.  kepada hamba dan tidak disimpan sesudahnya atas harta benda dunia apapun, adalah yang disebutkan dalam hadits:
أَرْبَعٌ إِذاَ كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: صِدْقُ الْحَدِيْثِ وَحِفْظُ اْلأَمَانَةِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَعِفَّةُ مَطْعَمِ.
"Empat perkara, apabila ada padamu, maka tidak mengapa engkau kehilangan dunia: benar ucapan, menjaga amanah, akhlak yang baik, dan menjaga makanan (dari yang tidak baik)."

Amanah merupakan salah satu rukun akhlak yang empat perkara, yang tidak bisa ditukar dengan apapun juga. Bahkan bisa menjadi sebab datangnya dunia kepada hamba, karena manusia mendapatkannya padanya.
Amanah adalah sifat istimewa bagi para pemangku risalah (para nabi), sungguhnya setiap orang dari mereka berkata kepada kaumnya:
إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, (QS. Asy-Syu'ara:107,125,143, 162, 178))

Amanah tersebut merupakan persaksian musuh-musuh mereka (para nabi) kepada mereka, seperti dalam dialog Heraclius (raja Romawi) dengan Abu Sufyan, ketika Heraclius berkata:  'Aku bertanya kepadamu, apa yang diperintahkannya kepadamu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia memerintahkan shalat, jujur, menahan dari yang haram, melaksanakan janji, menunaikan amanah- ia berkata: dan ini adalah sifat seorang nabi.'  Dan di tempat yang lain dalam Shahih '…Dan aku bertanya kepadamu: apakah ia menipu? Maka engkau menjelaskan bahwa ia tidak pernah menipu. Demikian pula para rasul, mereka tidak pernah menipu…'
Sungguh, jika ini merupakan sifat para penyeru risalah, maka sesungguhnya para pengikut mereka juga memiliki karekteristik seperti itu. Karena itulah beliau menyertakan definisi seorang mukmin dengan perilakunya yang istimewa, di mana beliau bersabda:
وَالْمُؤْمِنُ مَنْ أمنهُ النَّاسُ عَلَى دِمَائِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ
"Dan seorang mukmin adalah orang yang manusia memberikan amanah kepadanya terhadap darah dan harta mereka."

Apabila sifat amanah sudah menyatu dengan pemiliknya, ia bergaul dengan sifat itu bersama yang dekat dan jauh, muslim dan non muslim. Ibnu Hajar rahimahullah berkata:  'Menipu hukumnya haram dengan kesepakatan ulama, sama saja terhadap muslim atau kafir zimmi.'  Demikian pula keadaan orang yang beriman, sehingga bersama orang yang terkenal sebagai pengkhianat dan masyhur sebagai penipu, sebagaimana dalam hadits:
أَدِّ اْلأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَتَخُنْ مَنْ خَانَكَ
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah engkau berkhianat kepada orang yang berkhianat kepadamu."

Yang demikian itu karena bahaya terjatuh dalam pengkhianatan dan rusaknya fitrah dengan membatalkan janji lebih berat dari pada membalas kepada pengkhianat dengan balasan serupa, dan karena sesungguhnya terjatuh sekali bisa disukai nafsu dan terus berada dalam kenistaan pengkhianatan.Penipuan orang-orang besar, para pemuka, dan pengkhianatan orang-orang yang berkedudukan lebih keji dan lebih jahat dari pada tergelincirnya kalangan awam, karena kesalahan orang-orang besar merupakan kerusakan besar.

Al-Qurthubi menjelaskan masalah ini dalam pembicaraannya  tentang penipuan para pemimpin, ia berkata:  'Para ulama kita berkata:  sesungguhnya penipuan yang dilakukan pemimpin lebih besar dan lebih keji darinya pada selainnya, karena mengandung kerusakan dalam hal itu. Maka sesungguhnya apabila mereka menipu dan diketahui hal tersebut dari mereka, tidak menepati janji secaya merata, musuh tidak merasa aman atas perjanjian dan tidak pula atas perdamaian dengan mereka. Maka bertambahlah kekerasannya dan besarlah bahayanya, dan hal itu membuat orang berlari dari agama dan menyebabkan celaan terhadap para pemimpin kaum muslimin.

Dan para ulama berbeda pendapat, apakah boleh berjihad bersama pemimpin yang menipu?
Apabila berkhianat dari kalangan awam merupakan sifat tercela, maka sesungguhnya dari orang yang terpandang lebih tercela lagi, dan sampailah kehinaan seseorang saat rusaknya fitrahnya, yang Rasulullah S.A.W. menghitungnya termasuk dari mereka:
...وَاْلخَائِنُ الَّذِي لاَيَخْفَى عَلَيْهِ طَمْعٌ وَإِنْ دَقَّ إِلاَّ خَانَهُ, وَرَجُلٌ لاَ يُصْبِحُ وَلاَيُمْسِي وَهُوَ يُخَادِعُكَ عَلَى أَهْلِكَ وَمَالِكَ"…
dan pengkhianat yang tidak samar sifat tamak atasnya, sekalipun sangat kecil, kecuali ia berkhianat, dan laki-laki yang tidak berlalu pagi dan petang kecuali ia menipu engkau terhadap keluarga dan hartamu…
"Sudah terlalu sering hati kita seakan pecah saat kita melihat golongan-golongan ini berada di antara kaum muslimin. Maka mereka bersegera kepada setiap keinginan yang nampak, mereka berkhianat di setiap janji yang suci dan setiap benda yang dipelihara.

Tidak bersifat amanah bukan hanya mendapatkan kehinaan dan kenistaan di dunia, sesungguhnya ia akan mendapatkannya tergambar baginya di hari kiamat saat berada di titian, agar ia tersungkur karenanya dari atas titian, menuju dasar neraka jahanam, sebagai akibat menyia-nyiakan amanah dan melewati batas dalam melanggarnya, sebagaimana dalam hadits:
وَتُرْسَلُ اْلأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَتَقُوْمَانِ جَنْبَيِ الصِّرَاطِ يَمِيْنًا وَشَمَالاً...
"Dan dikirimlah amanah dan silaturrahim, maka keduanya berdiri di kedua sisi titian, sebelah kanan dan kiri…"

Selamat bagi orang yang melaksanakan amanah dengan sebenarnya, maka ia berlari di atas titian (pada hari kiamat) tanpa rasa takut dan khawatir, tanpa rasa rugi dan penyesalan. Di mana tidak berguna lagi rasa rugi dan penyesalan atas orang yang meremehkan lalu berkhianat, dan terjatuh lalu menipu, karena nafsu syahwat atau rasa dendam yang buta…

Di antara gambaran amaliyah terhadap amanah: bahwa engkau memberi nasehat kepada orang yang meminta pendapatmu dan jujur kepada orang yang percaya terhadap pendapatmu. Disebutkan dalam hadits:
اَلْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ
"Yang diminta pendapat adalah yang dipercaya."
...وَمَنْ أَشَارَ عَلَى أَخِيْهِ بِأَمْرٍ يَعْلَمُ أَنَّ الرُّشْدَ فِى غَيْرِهِ فَقَدْ خَانَهُ
"Dan barangsiapa yang memberi isyarat kepada saudaranya dengan perkara yang ia mengetahui bahwa petunjuk pada yang lainnya, berarti ia telah berkhianat kepadanya."

Kebaikan apakah yang masih tersisa pada orang yang memberi saran yang tidak berguna kepada saudaranya, bahkan kemungkinan membahayakannya?
Mujahid (pejuang) di medan perang diperintahkan bersikap amanah, dilarang menipu, berkhianat dan ghulul (mengambil harta ghanimah sebelum dibagi):
لاَتَغْدِرُوْا وَلاَتَغُلُّوْا وَلاَتُمَثِّلُوْا
"Janganlah kamu menipu, janganlah berbuat ghulul, dan janganlah mencincang musuh…"

Dan orang yang diberi amanah menjaga keluarga mujahid (pejuang) adalah sebaik-baik yang melaksanakan amanah. Jika ia lalai atau berkhianat, niscaya mujahid itu berdiri di hari kiamat, mengambil dari kebaikannya apa-apa yang dikehendakinya:
وَمَا مِنْ رَجُلٍ مِنَ الْقَاعِدِيْنَ يَخْلُفُ رَجُلاً مِنَ الْمُجَاهِدِيْنَ فِى أَهْلِهِ فَيَخُوْنُهُ فِيْهِمْ إِلاَّ وَقَفَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, فَيَأْخُذُ مِنْ عَمَلِهِ مَاشَاءَ... فَمَا ظَنَُّكُمْ
"Dan tidak ada seorang laki-laki yang tidak ikut berperang, menggantikan laki-laki dari para mujahidin (dalam mengurus) keluarganya, lalu ia berkhianat pada mereka melainkan ia berdiri baginya di hari kiamat, maka ia mengambil dari amal ibadahnya apa-apa yang dikehendakinya… maka apakah dugaanmu? Maksudnya, apakah kamu mengira bahwa masih tersisa sedikit lagi dari kebaikannya?

Di antara amanah yang terpenting adalah memelihara rahasia manusia, menutup aurat (kehormatan) mereka, dan menyembunyikan pembicaraan majelis mereka. Disebutkan dalam hadits:
اَلْمَحَالِسُ بِاْلأَمَانَةِ
"Majelis-majelis itu dengan amanah."

Sekalipun yang bercerita tidak berpesan untuk menyembunyikan pembicaraan khususnya kepadamu, engkau tidak boleh menyebarkan kecuali dengan izin dan sepengetahuannya, berdasarkan sabda Nabi S.A.W.:
إِذَا حَدَّثَ رَجُلٌ رَجُلاً بِحَدِيْثٍ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهُوَ لَهُ أَمَانَةٌ
"Apabila seseorang berbicara kepada orang lain dengan satu pembicaraan, kemudian ia menoleh, maka ia adalah amanah."

Dan sekurang-kurang yang ada dalam amanah ini adalah bahwa yang mengutip pembicaraan –saat mengutipnya- dengan apa adanya, dan janganlah menambah yang bukan termasuk darinya dengan menyamarkan atau menyimpangkan.
Di antara amanah dalam bekerja adalah baik dalam bekerja dan menyembunyikan rahasianya. Karena itulah Imam al-Bukhari memberikan satu judul dalam kitab Ahkam: 'Bab: Dianjurkan bagi penulis bahwa ia seorang yang amanah serta berakal', mengisyaratkan kepada ucapan Abu Bakar r.a. kepada Zaid bin Tsabit, saat ia akan menugaskannya:  'Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang berakal, kami tidak menuduh engkau'.

Dan di antara bahaya akhir zaman adalah kacaunya timbangan dan rusaknya nilai-nilai luhur sampai kepada tingkatan yang digambarkan oleh Rasulullah S.A.W.:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خداعَاتٌ, يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذِّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ, وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا اْلأَمِيْنُ, وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ فِى أَمْرِ الْعَامَّةِ. قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ:الرَّجُلُ التَّافِهُ.
"Akan tiba kepada manusia tahun-tahun yang sangat menipu, dibenarkan orang yang bohong dan didustakan orang yang benar, orang yang khianat diberi kepercayaan, orang yang amanah dianggap pengkhianat, dan ruwaibidhah berbicara dalam perkara besar.' Ada yang bertanya, 'Apakah ruwaibidhah itu?' Beliau S.A.W. menjawab, 'Orang yang hina.'

Dan Rasulullah S.A.W.  merasa khawatir tersebarnya pengkhianatan setelah abad-abad kebaikan, beliau bersabda:
...إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُوْنُوْنَ وَلاَ يُؤْتَمَنُوْنَ
"…Sesungguhnya setelah kamu ada satu kaum yang berkhianat dan tidak bisa diberi amanah…"

Sejak masa itu, rangkaian kejatuhan terus berlanjut, hingga jadilah kita melihat perkara diserahkan kepada selain ahlinya, pengkhianat diberi amanah, yang amanah dianggap pengkhianat, dan jadilah orang yang amanah benar-benar menjadi langka, yang diisyaratkan kepada mereka, seperti dalam hadits:
فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ, فَلاَ يَكُوْنُ أَحَدُهُمْ يُؤَدِّي اْلأَمَانَةَ, فَيُقَالُ: إِنَّ فِى بَنِي فُلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنا...
"Jadilah manusia berjual beli, maka hampirlah salah seorang dari mereka tidak ada yang menunaikan amanah. Maka dikatakan: sesungguhnya pada bani fulan ada seorang laki-laki yang amanah…"

Padahal sudah sangat langkanya orang-orang yang amanah, mereka dijauhkan dan diberikan jabatan kepada selain mereka, dan hal itu menjadi penyebab tersia-sianya amanah, itulah salah satu tanda hari kiamat.

Rasulullah S.A.W. bersabda:
إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ :كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.
"Apabila amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat.' Abu Hurairah telah bertanya, 'Bagaimanakah menyia-nyiakannya?' Beliau menjawab, 'Apakah perkara diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat."

Dan di dalam Fath al-Bari, ‘Ibnu Baththal berkata, ‘Maksud (Apabila perkara diserahkan kepada bukan ahlinya): Sesungguhnya para pemimpin telah diberi amanah oleh Allah  terhadap hamba-hamba-Nya, mewajibkan atas mereka (para pemimpin) untuk mereka (hamba-hamba-Nya), maka mereka harus mengangkat pemimpin yang berpengetahuan agama. Maka apabila mereka mengangkat pemimpin yang tidak berpengatahuan agama, berarti mereka telah menyia-nyiakan amanah yang dibebankan Allah S.W.T. kepada mereka.

Di antara isyarat fiqhiyah bagi pemberian judul bab dalam Shahih al-Bukhari, bahwa ia membuat dalil dengan hadits:
فَإِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
“Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat (kehancurannya)”

Dalam kitab ilmu, Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan al-Bukhari memasukkannya dalam kitab ilmu, ia berkata: ‘Korelasi matan (isi hadits) ini bagi kitab ilmu, karena menyerahkan perkara kepada bukan ahlinya sesungguhnya terjadi saat meratanya kebodohan dan terangkatnya ilmu, dan hal itu termasuk tanda-tanda hari kiamat.

Melaksanakan hak-hak amanah termasuk sifat orang-orang yang beriman, dan kekurangan sebagian darinya termasuk bagian dari sifat orang munafik.
Karena itulah disebutkan sifat orang yang munafik:
وَإِذَا أْتُمِنَ خَانَ
“Apabila diberi amanah ia berkhianat.”
Dan beliau Rasulullah S.A.W. bersabda:
لاَ إيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَدِيْنَ لِمَنْ لاَعَهْدَ لَهُ
“Tidak ada iman (yang sempurna) bagi orang yang tidak ada amanah padanya, dan tidak ada agama (yang sempurna) bagi orang yang tidak menepati janji.”

Orang yang mempunyai sifat amanah sangat tekun melaksanakan kewajibannya, jauh dari sifat menipu, tipu daya dan khianat, menjaga perjanjian dan menepati janji. Risalah agung seperti risalah kita, tidak bisa memikulnya  dan berlalu dengannya kecuali orang-orang yang amanah, apakah kita mencalonkan diri kita untuk hal itu?

Kesimpulan dan poin-poin utama:

Imam al-Qurthubin rahimahullah menjelaskan bahwa amanah meliputi semua aspek agama.
Non muslim pun cenderung kepada orang yang amanah.
Sifat amanah tidak ada bandingannya di dunia.
Amanah adalah sifat para rasul.
Musuh-musuh Rasulullah S.A.W. mengakui sifat amanah pada diri beliau.
Pengkhianatan yang paling keji adalah yang dilakukan para pemimpin dan pembesar.

Di antara gambaran amanah:

a.    Amanah dalam musyawarah.
b.    Amanah dalam jihad, tanpa menipu dan khianat.
c.    Amanah yang tidak ikut perang dalam menjaga harta para pejuang.
d.    Amanah menjaga rahasia majelis.
e.    Amanah dalam bekerja.

Di antara tanda-tanda hari kiamat:

f.    Menganggap khianat orang yang amanah dan diberikan amanah kepada orang suka berkhianat.
g.    Menyerahkan urusan kepada bukan ahlinya.
h.    Langkanya orang-orang yang amanah.

Tidak ada yang berhak memikul dakwah ini kecuali orang-orang yang amanah.

Oleh: Mahmud Muhammad al-Khazandar

HAKIKAT CINTA KEPAD RASULULLAH S.A.W



Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ucapan, perbuatan maupun penetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam [1], memiliki kedudukan yang sangat agung dalam Islam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penjelas dan penjabar dari al-Qur’an yang mulia, yang merupakan sumber utama syariat Islam. Oleh karena itu, tanpa memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, seseorang tidak mungkin dapat menjalankan agama Islam dengan benar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَأَنزلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نزلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala), supaya mereka memikirkan.” (Qs. an-Nahl: 44).

Ketika Ummul mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak (tingkah laku) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menjawab, “Sungguh, akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an.”[2] Ini berarti, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan isi al-Qur’an, menegakkan hukum-hukumnya dan menghiasi diri dengan adab-adabnya.[3] Maka, orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dialah yang paling sempurna dalam berpegang teguh dan mengamalkan al-Qur’an dan agama Islam secara keseluruhan.

Imam Ahmad bin Hambal –semoga Allah Ta’ala merahmatinya– berkata, “(Termasuk) landasan (utama) sunnah (syariat Islam) menurut (pandangan) kami (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) adalah bahwa sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penafsir dan argumentasi (yang menjelaskan makna) al-Qur’an.”[4]

Oleh karena itulah, para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendefinisikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sesuatu yang mencakup syariat Islam secara keseluruhan, baik ucapan, perbuatan maupun keyakinan.[5]

Imam Abu Muhammad al-Barbahari[6] berkata, “Ketahuilah, bahwa Islam itu adalah sunnah dan sunnah itu dialah Islam, yang masing-masing dari keduanya tidak akan tegak tanpa ada yang lainnya.”[7]

Arti mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Ali ‘Imran: 31).

Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim (pemutus perkara) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah, akan tetapi dia tidak mengikuti jalan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah orang yang berdusta dalam pengakuan tersebut dalam masalah ini, sampai dia mau mengikuti syariat dan agama (yang dibawa oleh) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaannya.”[8]

Imam al-Qadhi ‘Iyadh al-Yahshubi berkata, “Ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan mengutamakannya dan berusaha meneladaninya. Kalau tidak demikian, maka berarti dia tidak dianggap benar dalam kecintaanya dan hanya mengaku-aku (tanpa bukti nyata). Maka orang yang benar dalam (pengakuan) mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jika terlihat tanda (bukti) kecintaan tersebut pada dirinya. Tanda (bukti) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang utama adalah (dengan) meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan sunnahnya, mengikuti semua ucapan dan perbuatannya, melaksanakan segala perintah dan menjauhi larangannya, serta menghiasi diri dengan adab-adab (etika) yang beliau (contohkan), dalam keadaan susah maupun senang dan lapang maupun sempit.”[9]

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bahwa mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya adalah dengan meneladani petunjuk dan sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan berusaha mempelajari dan mengamalkannya dengan baik. Dan bukanlah mencintai dan mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah[10] dengan mengatasnamakan cinta kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau memuji dan mensifati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara berlebihan, dengan menempatkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kedudukan yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tempatkan beliau padanya.[11]

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memuji diriku secara berlebihan dan melampaui batas, sebagaimana orang-orang nasrani melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan Rasul-Nya.“[12]

Inilah makna cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dipahami dan diamalkan oleh generasi terbaik umat ini, para sahabat radhiallahu ‘anhum. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada seorangpun yang paling dicintai oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi jika mereka melihat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka tidak berdiri (untuk menghormati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam), karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci perbuatan tersebut.”[13]

Bagaimana menyempurnakan cinta kepada sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam diri kita?
Imam Ibnu Rajab al-Hambali membagi derajat (tingakatan) cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi dua tingakatan, yang berarti dengan menyempurnakan dua tingkatan ini seorang akan memiliki kecintaan yang sempurna kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ini merupakan tanda kesempurnaan iman dalam dirinya.

Dua tingkatan tersebut adalah:

1- Tingkatan yang fardhu (wajib), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandung konsekuensi menerima dan mengambil semua petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sisi Allah dengan (penuh rasa) cinta, ridha, hormat dan patuh, serta tidak mencari petunjuk dari selain jalan (sunnah) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara utuh. Kemudian, mengikuti dengan baik agama yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan dari Allah, dengan membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mentaati semua kewajiban yang beliau perintahkan, maninggalkan semua perbuatan haram yang dilarangnya, serta menolong dan berjihad (membela) agamanya, sesuai dengan kemampuan unutk (mengahadapi) orang-orang yang menentangnya. Tingkatan ini harus dipenuhi (oleh setiap muslim) dan tanpanya keimanan (seseorang) tidak akan sempurna.

2- Tingkatan fadhl (keutamaan/kemuliaan), yaitu kecintaan (kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mengandungi konsekuensi meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar, dalam tingkah laku, adab (etika), ibadah-ibadah sunnah (anjuran), makan, minum, pakaian, pergaulan yang baik dengan keluarga, serta semua adab beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sempurna dan akhlak beliau yang suci. Demikian juga memberikan perhatian (besar) untuk memahami sejarah dan perjalanan hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, rasa senang dalam hati dengan mencintai, mengagungkan dan memuliakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, senang mendengarkan ucapan (hadits) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan selalu (mendahulukan) ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas ucapan selain beliau. Dan termasuk yang paling utama dalam tingkatan ini adalah meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sikap zuhud beliau terhadap dunia, mencukupkan diri dengan hidup seadanya (sederhana) di dunia, dan kecintaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada (balasan yang sempurna) di akhirat (kelak).”[14]
Keutamaan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Qs. al-Ahzaab: 21).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik“, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.[15]

Ketika menafsirkan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam .”[16]
Kemudian firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di akhir ayat ini mengisyaratkan satu faedah yang penting untuk direnungkan, yaitu keterikatan antara meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesempurnaan iman kepada Allah dan hari akhir, yang ini berarti bahwa semangat dan kesungguhan seorang muslim untuk meneladani sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda kesempurnaan imannya.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menjelaskan makna ayat di atas berkata, “Teladan yang baik (pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, yang akan mendapatkan taufik (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk mengikutinya hanyalah orang-orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (balasan kebaikan) di hari akhir. Karena (kesempurnaan) iman, ketakutan pada Allah, serta pengharapan balasan kebaikan dan ketakutan akan siksaan Allah, inilah yang memotivasikan seseorang untuk meneladani (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[17]

Penutup

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita makna mencintai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sebenarnya, dan jelaslah besarnya keutamaan dan kemuliaan mengikuti sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka mestinya, seorang muslim yang mengaku mencintai Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, adalah orang yang paling semangat dalam mempelajari dan menerapkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sikap dan tingkah lakunya. Khususnya, di zaman sekarang ketika sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi asing dan jarang diamalkan di tengah-tengah kaum muslimin sendiri. Karena, seorang muslim yang mengamalkan satu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dilupakan, dia akan mendapatkan dua keutamaan (pahala) sekaligus, yaitu keutamaan mengamalkan sunnah itu sendiri dan keutamaan menghidupkannya di tengah-tengah manusia yang telah melupakannya.

Syaikh Muhammad bih Shalih al-’Utsaimin berkata, “Sesungguhnya, sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika semakin dilupakan, maka (keutamaan) mengamalkannya pun semakan kuat (besar), karena (orang yang mengamalkannya) akan mendapatkan keutamaan mengamalkan (sunnah itu sendiri) dan (keutamaan) menyebarkan (menghidupkan) sunnah dikalangan manusia.”[18]

Sebagai penutup, marilah kita camkan bersama nasihat Imam al-Khatiib al-Baghdadi[19] berikut ini, “Seyogianya para penuntut ilmu hadits (pengikut manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah), (berusaha untuk) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimam mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (Qs. al-Ahzaab: 21).

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Jumadal ula 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat kitab “Taujiihun Nazhar Ila Ushuulil Atsar” (1/40).
[2] HSR. Muslim (no. 746).
[3] Lihat keterangan Imam an-Nawawi dalam kitab “Syarh Shahih Muslim” (6/26).
[4] Kitab “Ushuulus Sunnah” (hal. 3).
[5] Lihat kitab “Jaami’ul Uluumi wal Hikam” (hal. 321).
[6] Beliau adalah imam panutan umat, Hasan bin ‘Ali bin Khalaf al-Barbahari al-Bagdadi (wafat 328 H), biografi beliau dalam kitab “Siyaru A’laamin Nubala’” (15/90).
[7] Kitab “Syarhus Sunnah” (hal. 59).
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/477).
[9] Kitab “Asy-Syifa Bita’riifi Huquuqil Mushthafa” (2/24).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah,  yang  tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[11] Lihat kitab “Mahabbatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Bainal Ittibaa’ Wal Ibtidaa’” (hal. 65-71).
[12] HSR. al-Bukhari (no. 3261).
[13] HR. at-Tirmidzi (5/90) dan Ahmad (3/132), dinyatakan shahih oleh at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.
[14] Kitab “Istinyaaqu Nasiimil Unsi Min Nafahaati Riyaadhil Qudsi” (hal. 34-35.
[15] Lihat keterangan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau (hal. 481).
[16] Tafsir Ibnu Katsir (3/626).
[17] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 481).
[18] Kitab “Manaasikul Hajji wal ‘Umrah” (hal. 92).
[19] Dalam kitab beliau “Al-Jaami’ Li Akhlaaqir Raawi wa Aadaabis Saami’” (1/215).