Khamis, 27 Januari 2011
IHSAN DALAM KEHIDUPAN
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.
Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muroqobah.
Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya
Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ …{ 61 }
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan
Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al Baqarah:195)
Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.
llah Ta’ala juga berfirman,
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}
“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.
Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muroqobah.
Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya
Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ …{ 61 }
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah, seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan
Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al Baqarah:195)
Termasuk di dalamnya juga adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah terangkan dalam firman-Nya لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus: 26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta menolongnya dalam setiap urusannya.
llah Ta’ala juga berfirman,
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}
“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)
Rabu, 26 Januari 2011
STATUS WANITA SEBAGAI PEMIMPIN MENURUT ISLAM
Oleh :Ust Zaharuddin Abd Rahman
Imam Al-Mawardi r.a [1] (450 H) menjelaskan jawatan seperti Perdana Menteri atau juga menteri ketenteraan adalah tidak dibolehkan bagi wanita serta tidak sesuai dengan kemampuan sifat mereka terutama apabila melibatkan ketenteraan. Beliau juga menyenaraikan sifat ‘lelaki' sebagai salah satu daripada 10 syarat kepada kepimpinan di peringkat ‘tafwid' tetapi tidak di peringkat ‘tanfiz'.
Menurut Imam Hasan Al-Banna [2], wanita tidak dibenarkan menjawat apa-apa jawatan di wilayah ‘ammah atau wazarah tafwid seperti kepimpinan ketenteraan (wilayah jihad), wilayah hisbah, wilayah kehakiman, wilayah haji, wilayah kharaj dan lain-lain bentuk umum. Selain dalil-dalil biasa dari Al-quran dan al-Hadtih, beliau juga berdalilkan ijma’ amali yang menunjukkan bahawa sejak zaman Rasul SAW, baginda tidak pernah melantik kepimpinan umum di kalangan wanita dan hal ini berterusan hinggalah jatuhnya empayar Islam Uthmaniyyah. Malah Rasulullah SAW dan para sahabat juga tidak pernah melantik ahli kenggotaan syura ( ahl al-hal wal aqd ) dari kalangan wanita.
Dr. Abd Qadir Abu Faris (Ahli Parlimen Ikhwan Muslimin Jordan sekarang) juga berpandangan seperti Imam Hasan Al-Banna. Beliau menguatkan pandangan Imam Hasan dengan membawakan persitiwa Bai’ah Aqabah Kedua dimana Rasulullah SAW telah memilih 12 orang ketua dan tidak pun melantik wanita sekalipun mereka hadir berbaiah. Begitu juga ketika Rasul SAW menghimpun sahabat dalam memutuskan keputusan dalam peperangan Uhud, Ahzab, “Fath Makkah” , Perang Hunain dll, Rasul tidak pun meminta pandangan dari kaum wanita. Dr. Abd Qadir bukan sahaja tidak menyetujui kepimpinan wanita di peringkat tafwid malah juga pringkat tanfiz. [3].
Dr. Yusoff Al-Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh al-dawlah fil Islam, mempunyai pandangan yang sedikit berbeza, beliau berpandangan bahawa dalam konteks kepimpinan dunia hari ini, beliau lebih cenderung mengharuskan wanita memegang kesemua jawatan termasuk Perdana Menteri dengan beberapa syarat.
Antara hujjah Dr. Yusoff Al-Qaradhawi dan mereka yang mempersetujui keharusan ini adalah seperti berikut :-
1. Kisah kepimpinan wanita di peringkat tertinggi iaitu Ratu Balqis, digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita tertinggi negara yang berwibawa serta mampu membawa kaumnya kepada kebaikan dunia akhirat. Firman Allah SWT:
قالوا نحن أولوا قوة وأولوا بأس شديد والأمر إليك فانظري ماذا تأمرين (النمل :33)
قالت رب إني ظلمت نفسي وأسلمت مع سليمان لله رب العالمين (النمل: 44)
Mafhum : Berkatalah kami (lelaki) yang mempunyai kekuatan, sesungguhnya kami serahkan urusan ini kepdamu ( ratu balqis) …” berkatalah Balqis “ Demi Tuhanku sesungguhnya aku telah berlaku zalim terhdp diriku nescaya kini aku akan beriman kepada Allah bersama Nabi Sulaiman” ( An-Naml 33 dan 44)
2. Mempersoalkan sifat umum pada hadith riwayat Bukhari tadi dengan hujjah :
a. Beliau menyatakan bahawa perkara menggunakan umum hadith untuk melarang kepimpinan dari kalangan wanita adalah tidak disepakati sepenuhnya. Selain itu, sekiranya ia diambil dengan pengertian umum lafaz sahaja maka akan bertentangan dengan kisah tawladan Ratu Balqis sebagai pemimpin tertinggi yang berjaya. Ratu Balqis digambarkan oleh Allah sebagai berkata :
قالت ياأيها الملأ أفتوني في أمري ما كنت قاطعة أمرا حتى تشهدوني(32)
Mafhum : “Wahai pembesar berikanlah pandangan kepadaku dalam urusan ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir memberi pendapat dan mempersetujuinya” ( An-Naml 32)
b. Mengambil kaedah fiqhiyyah العادة محكمة dan bersandarkan kepada fiqh waqi’ , reality hari ini kebanyakan wanita menyumbang kebaikan yang banyak untuk negara malah adakalanya lebih daripada lelaki, bahkan mereka juga ada yang lebih berkelayakan dari pelbagai sudut berbanding lelaki.
Ini bermakna, kita perlu memahami hadith dan sunnah fi’liyah Rasulullah SAW berdasarkan ‘mulabasat’ atau suasana zaman dan kemampuan wanita ketika itu. Hasilnya, Al-Qaradhawi seolah-olah cuba memberi isyarat di sini, bahawa isu hukum kepimpinan wanita adalah isu furu’ yang boleh berubah menurut peredaran zaman, apa yang penting adalah syarat KEMAMPUAN DARI PELBAGAI SUDUT tanpa menjadikan JANTINA SEBAGAI PUNCA PERBEZAAN UTAMA DAN KELAYAKAN.
3. Hadith tadi juga memberi kefahaman bahawa ketika wujudnya Khilafah Islamiyyah, wanita memang kelihatan amat kurang sesuai menjadi imamah uzma iaitu khalifah walaupun di ketika zaman ini. Hal ini sememangnya disepakati larangannya, tetapi selepas ketiadaan khilafah tahun 1924 M, sebahagian ulama’ telah meng‘qias’ kan kepimpinan ratu Balqis sebagai Presiden yang punyai kuasa dalam memberi persetujuan terhadap sebarang pelaksanaan dasar. Justeru, dalam ketiadaan khilafah, negara-negara umat Islam hanyalah bertaraf seperti Gabenor di wilayah yang terhad. Sehubungan dengan itu, wanita boleh memegang jawatan menteri, Qadhi atau lain-lain.
4. Dalam masyarakat di bawah system demokrasi hari ini, apabila wanita dilantik ke jawatan kementerian, Parlimen, Pentadbiran atau lainnya, ia tidak bermakna ia memegang jawatan ini secara veto, hakikatnya ia adalah kepimpinan secara kolektif, yang mempunyai sebuah institusi dalam menentukan tindakan. Justeru, menurut al-Qaradhawi, ia tidak bertentangan dengan Hadtih walau menurut apa jua tafsiran.
Prof Dr. Mohammad Hashim Kamali (UIA) pula berpandangan wanita dibenarkan memegang semua jawatan kepimpinan kecuali Perdana Menteri dan jawatan hakim. Manakala jawatan-jawatan lain seperti gabenor, wilayah hisbah, wilayah mazalim adalah perkara yang diperselisihkan antara ulama’. [4]
Al-Imam As-Syawkani (1255 H) di dalam Nailul Awtar menyatakan selain hadith di atas yang menjadi dalil tidak harus wanita memegang tampuk tertinggi pemerintahan, fuqaha’ juga berdalilkan satu hadith lain iaitu Mafhumnya :
Dari Buraidah dari Nabi SAW : “Qadhi (hakim) itu tiga, satu di dalam syurga, dau darinya di dalam neraka, maka mereka adalah lelaki yang mengetahui kebenaran lalu menghukum dengan nya,…..” ( Riwayat Ibn Majah, Abu Daud, Tirmizi, Nasaie dan al-Hakim [5])
Lafaz kalimah “Qadhi” (kalimah khas untuk lelaki sahaja dalam bahasa arab) yang diguna di dalam hadith ini membuktikan jawatan qadhi dan hakim terhad hanya untuk kaum lelaki, demikian juga pemerintah.
KESIMPULAN PENULIS
Demikianlah serba sedikit perbezaan pandangan para ulama’ Islam dalam menentukan kedudukan wanita di peringkat tertinggi, ia adalah berpunca daripada perbezaan pandangan mereka dalam menentukan kaedah terbaik dalam menjaga maslahat umat, sebagai kesimpulan, penulis berpandangan seperti berikut :-
1) Pertamanya, semua pihak perlu menyedari bahawa urusan pendidikan anak-anak, adalah terlalu amat penting sebenarnya. Ia hakikatnya satu medan yang sangat sesuai dengan fitrah wanita. Justeru sekiranya wanita yang berkelayakan ini memimpin institusi keluarga, dan lelaki yang berkelayakan pula memimpin sebuah negara dan rakyatnya, inilah bentuk ideal dan menurut Islam, sunnah Rasul SAW dan tepat pula menurut hukum logik aqal. Tambahan pula lelaki secara semulajadi cukup sesuai untuk menanggung tugas tersebut jika diteliti dari sudut tenaga, mental dan fizikal mereka, manakala wanita pula sememangnya sangat sesuai untuk memimpin institusi pendidikan anak-anak bersendikan seni halus mereka, terutamanya apabila kepada kemampuan fizikal yang terhad, serta maruah sebagai wanita yang sangat mudah tercemar dan dicemari, lalu amat sesuai kiranya difokuskan ke bidang tersebut, dan sekiranya antara dua bidang (keluarga oleh wanita dan rakyat oleh lelaki) ini gagal dijaga dengan baik maka sudah tentu negara amat sukar memperolehi kebaikan.
Bidang institusi keluarga, pendidikan anak dan menjaga keamanan rumah tangga WAJIB TIDAK DIPANDANG REMEH, malah ia sebenarnya amat sukar, mungkin hampir menyamai kepimpinan sebuah negara. Pandangan remeh terhadapnya adalah kesilapan utama wanita moden zaman kini hingga terlalu berhasrat menjaga negara sedangkan anak-anaknya menjadi perosak Negara akibat terlepas dari jagaan yang terbaik.
2) Isu halangan wanita dari menjadi pemimpin tertinggi adalah merupakan perkara cabang yang dibenarkan untuk berijtihad dalam menentukan hukumnya, Jika dilihat daripada umum lafaz hadith, menurut jumhur ulama’ Usul Fiqh (kecuali menurut ulama’ Hanafiah), lafaz umum ini membawa ‘Dalalah Zanniyyah’, maka adalah harus untuk berikhtilaf dalam menentukan hukumnya, ini bermakna pendapat ulama yang melarang tidaklah bersifat qat’ie (putus) [6].
3) Menurut pengamatan penulis terhadap hujjah Dr Yusoff Al-Qaradhawi, ia kelihatan agak kukuh dan lebih sesuai menurut suasana hari ini, di samping ternyata ia adalah hasil kefahaman mendalam terhadap Ruh Tasyri’ serta tidak jumud di hadapan lafaz nusus. Justeru penulis menyokong pandangan yang membenarkan wanita menjadi pemimpin dengan syarat-syarat tertentu. Antara syarat yang diletakkan oleh beliau adalah (dan setengahnya adalah tambahan penulis) :-
a- Dr. Yusof al-Qaradhawi menyatakan syarat kepimpinan wanita, adalah mereka tidak gagal dalam mentadbir anak-anak hinggakan beliau meletakkan umur sekitar 45 ke atas adalah umur yang sesuai.
b- Tiada pemimpin lelaki yang lebih layak untuk menyandang jawatan tersebut pada ketika tersebut.
c- Pemimpin wanita ini mestilah tidak membuat keputusan secara peribadi dalam memutuskan hal-hal besar negara, bahkan mestilah membuat keputusan secara kolektif dan syura bersama pemimpin pelbagai peringkat.
d- Wanita yang terlibat dalam hal kepimpinan sudah tentu akan berlaku percampuran yang banyak dengan kaum lelaki maka, menjadi kewajiban baginya untuk memelihara adab-adab Islam semasa keluar rumah seperti menutup aurat dengan sempurna, tidak berwangian berdasarkan hadith :-
“أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية وكل عين زانية "
Ertinya : “Mana-mana wanita yang berwangian lalu keluar rumah dan lalu di hadapan satu kaum (lelaki) dengan sengaja untuk menarik perhatian mereka, maka dosanya adalah seperti dosa zina” [7]
e- Mendapat kebenaran suami untuk berbuat demikian.
Apapun, kesesuaian persekitaran merupakan faktor penting dalam menentukan keharusan wanita samada dalam menjadi pemimpin (bukan peringkat tertinggi dan bukan qadhi, hakim – menurut sesetengah ulama), calon, ahli parlimen dan sebagainya, kerana WALAUPUN IA BOLEH DIKATAKAN HARUS PADA ASASNYA, tetapi ia mungkin menjadi haram kerana sebab-sebab luaran yang mendatang, ia disebut ‘Haram Li Ghairihi’ di dalam ilmu Usul Fiqh. Penulis juga merasakan, meletakkan hukum yang umum merangkumi semua karakter wanita dalam hal ini adalah kurang sesuai di waktu ini, sebaliknya keharusan tertakluk kepada kriteria syarat-syarat yang ditetapkan.
Imam Al-Mawardi r.a [1] (450 H) menjelaskan jawatan seperti Perdana Menteri atau juga menteri ketenteraan adalah tidak dibolehkan bagi wanita serta tidak sesuai dengan kemampuan sifat mereka terutama apabila melibatkan ketenteraan. Beliau juga menyenaraikan sifat ‘lelaki' sebagai salah satu daripada 10 syarat kepada kepimpinan di peringkat ‘tafwid' tetapi tidak di peringkat ‘tanfiz'.
Menurut Imam Hasan Al-Banna [2], wanita tidak dibenarkan menjawat apa-apa jawatan di wilayah ‘ammah atau wazarah tafwid seperti kepimpinan ketenteraan (wilayah jihad), wilayah hisbah, wilayah kehakiman, wilayah haji, wilayah kharaj dan lain-lain bentuk umum. Selain dalil-dalil biasa dari Al-quran dan al-Hadtih, beliau juga berdalilkan ijma’ amali yang menunjukkan bahawa sejak zaman Rasul SAW, baginda tidak pernah melantik kepimpinan umum di kalangan wanita dan hal ini berterusan hinggalah jatuhnya empayar Islam Uthmaniyyah. Malah Rasulullah SAW dan para sahabat juga tidak pernah melantik ahli kenggotaan syura ( ahl al-hal wal aqd ) dari kalangan wanita.
Dr. Abd Qadir Abu Faris (Ahli Parlimen Ikhwan Muslimin Jordan sekarang) juga berpandangan seperti Imam Hasan Al-Banna. Beliau menguatkan pandangan Imam Hasan dengan membawakan persitiwa Bai’ah Aqabah Kedua dimana Rasulullah SAW telah memilih 12 orang ketua dan tidak pun melantik wanita sekalipun mereka hadir berbaiah. Begitu juga ketika Rasul SAW menghimpun sahabat dalam memutuskan keputusan dalam peperangan Uhud, Ahzab, “Fath Makkah” , Perang Hunain dll, Rasul tidak pun meminta pandangan dari kaum wanita. Dr. Abd Qadir bukan sahaja tidak menyetujui kepimpinan wanita di peringkat tafwid malah juga pringkat tanfiz. [3].
Dr. Yusoff Al-Qaradhawi dalam kitabnya Min Fiqh al-dawlah fil Islam, mempunyai pandangan yang sedikit berbeza, beliau berpandangan bahawa dalam konteks kepimpinan dunia hari ini, beliau lebih cenderung mengharuskan wanita memegang kesemua jawatan termasuk Perdana Menteri dengan beberapa syarat.
Antara hujjah Dr. Yusoff Al-Qaradhawi dan mereka yang mempersetujui keharusan ini adalah seperti berikut :-
1. Kisah kepimpinan wanita di peringkat tertinggi iaitu Ratu Balqis, digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita tertinggi negara yang berwibawa serta mampu membawa kaumnya kepada kebaikan dunia akhirat. Firman Allah SWT:
قالوا نحن أولوا قوة وأولوا بأس شديد والأمر إليك فانظري ماذا تأمرين (النمل :33)
قالت رب إني ظلمت نفسي وأسلمت مع سليمان لله رب العالمين (النمل: 44)
Mafhum : Berkatalah kami (lelaki) yang mempunyai kekuatan, sesungguhnya kami serahkan urusan ini kepdamu ( ratu balqis) …” berkatalah Balqis “ Demi Tuhanku sesungguhnya aku telah berlaku zalim terhdp diriku nescaya kini aku akan beriman kepada Allah bersama Nabi Sulaiman” ( An-Naml 33 dan 44)
2. Mempersoalkan sifat umum pada hadith riwayat Bukhari tadi dengan hujjah :
a. Beliau menyatakan bahawa perkara menggunakan umum hadith untuk melarang kepimpinan dari kalangan wanita adalah tidak disepakati sepenuhnya. Selain itu, sekiranya ia diambil dengan pengertian umum lafaz sahaja maka akan bertentangan dengan kisah tawladan Ratu Balqis sebagai pemimpin tertinggi yang berjaya. Ratu Balqis digambarkan oleh Allah sebagai berkata :
قالت ياأيها الملأ أفتوني في أمري ما كنت قاطعة أمرا حتى تشهدوني(32)
Mafhum : “Wahai pembesar berikanlah pandangan kepadaku dalam urusan ini, aku tidak pernah memutuskan sesuatu perkara sebelum kamu hadir memberi pendapat dan mempersetujuinya” ( An-Naml 32)
b. Mengambil kaedah fiqhiyyah العادة محكمة dan bersandarkan kepada fiqh waqi’ , reality hari ini kebanyakan wanita menyumbang kebaikan yang banyak untuk negara malah adakalanya lebih daripada lelaki, bahkan mereka juga ada yang lebih berkelayakan dari pelbagai sudut berbanding lelaki.
Ini bermakna, kita perlu memahami hadith dan sunnah fi’liyah Rasulullah SAW berdasarkan ‘mulabasat’ atau suasana zaman dan kemampuan wanita ketika itu. Hasilnya, Al-Qaradhawi seolah-olah cuba memberi isyarat di sini, bahawa isu hukum kepimpinan wanita adalah isu furu’ yang boleh berubah menurut peredaran zaman, apa yang penting adalah syarat KEMAMPUAN DARI PELBAGAI SUDUT tanpa menjadikan JANTINA SEBAGAI PUNCA PERBEZAAN UTAMA DAN KELAYAKAN.
3. Hadith tadi juga memberi kefahaman bahawa ketika wujudnya Khilafah Islamiyyah, wanita memang kelihatan amat kurang sesuai menjadi imamah uzma iaitu khalifah walaupun di ketika zaman ini. Hal ini sememangnya disepakati larangannya, tetapi selepas ketiadaan khilafah tahun 1924 M, sebahagian ulama’ telah meng‘qias’ kan kepimpinan ratu Balqis sebagai Presiden yang punyai kuasa dalam memberi persetujuan terhadap sebarang pelaksanaan dasar. Justeru, dalam ketiadaan khilafah, negara-negara umat Islam hanyalah bertaraf seperti Gabenor di wilayah yang terhad. Sehubungan dengan itu, wanita boleh memegang jawatan menteri, Qadhi atau lain-lain.
4. Dalam masyarakat di bawah system demokrasi hari ini, apabila wanita dilantik ke jawatan kementerian, Parlimen, Pentadbiran atau lainnya, ia tidak bermakna ia memegang jawatan ini secara veto, hakikatnya ia adalah kepimpinan secara kolektif, yang mempunyai sebuah institusi dalam menentukan tindakan. Justeru, menurut al-Qaradhawi, ia tidak bertentangan dengan Hadtih walau menurut apa jua tafsiran.
Prof Dr. Mohammad Hashim Kamali (UIA) pula berpandangan wanita dibenarkan memegang semua jawatan kepimpinan kecuali Perdana Menteri dan jawatan hakim. Manakala jawatan-jawatan lain seperti gabenor, wilayah hisbah, wilayah mazalim adalah perkara yang diperselisihkan antara ulama’. [4]
Al-Imam As-Syawkani (1255 H) di dalam Nailul Awtar menyatakan selain hadith di atas yang menjadi dalil tidak harus wanita memegang tampuk tertinggi pemerintahan, fuqaha’ juga berdalilkan satu hadith lain iaitu Mafhumnya :
Dari Buraidah dari Nabi SAW : “Qadhi (hakim) itu tiga, satu di dalam syurga, dau darinya di dalam neraka, maka mereka adalah lelaki yang mengetahui kebenaran lalu menghukum dengan nya,…..” ( Riwayat Ibn Majah, Abu Daud, Tirmizi, Nasaie dan al-Hakim [5])
Lafaz kalimah “Qadhi” (kalimah khas untuk lelaki sahaja dalam bahasa arab) yang diguna di dalam hadith ini membuktikan jawatan qadhi dan hakim terhad hanya untuk kaum lelaki, demikian juga pemerintah.
KESIMPULAN PENULIS
Demikianlah serba sedikit perbezaan pandangan para ulama’ Islam dalam menentukan kedudukan wanita di peringkat tertinggi, ia adalah berpunca daripada perbezaan pandangan mereka dalam menentukan kaedah terbaik dalam menjaga maslahat umat, sebagai kesimpulan, penulis berpandangan seperti berikut :-
1) Pertamanya, semua pihak perlu menyedari bahawa urusan pendidikan anak-anak, adalah terlalu amat penting sebenarnya. Ia hakikatnya satu medan yang sangat sesuai dengan fitrah wanita. Justeru sekiranya wanita yang berkelayakan ini memimpin institusi keluarga, dan lelaki yang berkelayakan pula memimpin sebuah negara dan rakyatnya, inilah bentuk ideal dan menurut Islam, sunnah Rasul SAW dan tepat pula menurut hukum logik aqal. Tambahan pula lelaki secara semulajadi cukup sesuai untuk menanggung tugas tersebut jika diteliti dari sudut tenaga, mental dan fizikal mereka, manakala wanita pula sememangnya sangat sesuai untuk memimpin institusi pendidikan anak-anak bersendikan seni halus mereka, terutamanya apabila kepada kemampuan fizikal yang terhad, serta maruah sebagai wanita yang sangat mudah tercemar dan dicemari, lalu amat sesuai kiranya difokuskan ke bidang tersebut, dan sekiranya antara dua bidang (keluarga oleh wanita dan rakyat oleh lelaki) ini gagal dijaga dengan baik maka sudah tentu negara amat sukar memperolehi kebaikan.
Bidang institusi keluarga, pendidikan anak dan menjaga keamanan rumah tangga WAJIB TIDAK DIPANDANG REMEH, malah ia sebenarnya amat sukar, mungkin hampir menyamai kepimpinan sebuah negara. Pandangan remeh terhadapnya adalah kesilapan utama wanita moden zaman kini hingga terlalu berhasrat menjaga negara sedangkan anak-anaknya menjadi perosak Negara akibat terlepas dari jagaan yang terbaik.
2) Isu halangan wanita dari menjadi pemimpin tertinggi adalah merupakan perkara cabang yang dibenarkan untuk berijtihad dalam menentukan hukumnya, Jika dilihat daripada umum lafaz hadith, menurut jumhur ulama’ Usul Fiqh (kecuali menurut ulama’ Hanafiah), lafaz umum ini membawa ‘Dalalah Zanniyyah’, maka adalah harus untuk berikhtilaf dalam menentukan hukumnya, ini bermakna pendapat ulama yang melarang tidaklah bersifat qat’ie (putus) [6].
3) Menurut pengamatan penulis terhadap hujjah Dr Yusoff Al-Qaradhawi, ia kelihatan agak kukuh dan lebih sesuai menurut suasana hari ini, di samping ternyata ia adalah hasil kefahaman mendalam terhadap Ruh Tasyri’ serta tidak jumud di hadapan lafaz nusus. Justeru penulis menyokong pandangan yang membenarkan wanita menjadi pemimpin dengan syarat-syarat tertentu. Antara syarat yang diletakkan oleh beliau adalah (dan setengahnya adalah tambahan penulis) :-
a- Dr. Yusof al-Qaradhawi menyatakan syarat kepimpinan wanita, adalah mereka tidak gagal dalam mentadbir anak-anak hinggakan beliau meletakkan umur sekitar 45 ke atas adalah umur yang sesuai.
b- Tiada pemimpin lelaki yang lebih layak untuk menyandang jawatan tersebut pada ketika tersebut.
c- Pemimpin wanita ini mestilah tidak membuat keputusan secara peribadi dalam memutuskan hal-hal besar negara, bahkan mestilah membuat keputusan secara kolektif dan syura bersama pemimpin pelbagai peringkat.
d- Wanita yang terlibat dalam hal kepimpinan sudah tentu akan berlaku percampuran yang banyak dengan kaum lelaki maka, menjadi kewajiban baginya untuk memelihara adab-adab Islam semasa keluar rumah seperti menutup aurat dengan sempurna, tidak berwangian berdasarkan hadith :-
“أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية وكل عين زانية "
Ertinya : “Mana-mana wanita yang berwangian lalu keluar rumah dan lalu di hadapan satu kaum (lelaki) dengan sengaja untuk menarik perhatian mereka, maka dosanya adalah seperti dosa zina” [7]
e- Mendapat kebenaran suami untuk berbuat demikian.
Apapun, kesesuaian persekitaran merupakan faktor penting dalam menentukan keharusan wanita samada dalam menjadi pemimpin (bukan peringkat tertinggi dan bukan qadhi, hakim – menurut sesetengah ulama), calon, ahli parlimen dan sebagainya, kerana WALAUPUN IA BOLEH DIKATAKAN HARUS PADA ASASNYA, tetapi ia mungkin menjadi haram kerana sebab-sebab luaran yang mendatang, ia disebut ‘Haram Li Ghairihi’ di dalam ilmu Usul Fiqh. Penulis juga merasakan, meletakkan hukum yang umum merangkumi semua karakter wanita dalam hal ini adalah kurang sesuai di waktu ini, sebaliknya keharusan tertakluk kepada kriteria syarat-syarat yang ditetapkan.
Boleh kah ketika sujud membaca doa yang asalnya dari AlQurqan
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Seperti telah kita pahami bersama bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud.
Dalil tentang hal ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan ruku’ atau sujud. Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim no. 479)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk membaca (ayat Al Qur’an) ketika ruku’ dan sujud.” (HR. Muslim no. 480)
Lalu apa hikmah tidak boleh membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud?
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama.
Ada ulama yang menyatakan bahwa sebaik-baik rukun shalat adalah berdiri dan sebaik-baik bacaan adalah Al Qur’an. Karenanya, yang afdhol ini ditempatkan pada yang afdhol. Sedangkan Al Qur’an tidak diperkenankan dibaca di tempat lainnya agar tidak disangka bahwa Al Qur’an punya kedudukan yang sama dengan dzikir lainnya.
Ada pula ulama yang menyatakan bahwa ruku’ dan sujud adalah dua keadaan di mana seseorang tunduk dan hina di hadapan Allah, sehingga bacaan yang lebih pantas ketika itu adalah do’a dan bacaan tasbih. Oleh karena itu, terlarang membaca Al Qur’an ketika sujud dalam rangka untuk mengagungkan Al Qur’an dan untuk memuliakan yang membacanya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/91)
Lalu bagaimana membaca do’a yang diambil dari Al Qur’an ketika sujud?
Jawabnya, hal ini tidaklah mengapa. Kita boleh saja berdo’a dengan do’a yang bersumber dari Al Qur’an. Seperti do’a sapu jagad,
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Baqarah: 201).
Atau do’a agar diberikan keistiqomahan,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Alasannya karena niatan ketika itu adalah bukan untuk tilawah Al Qur’an, namun untuk berdo’a. Nabi shallallahu ‘a
laihi wa sallam pun bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Az Zarkasyi rahimahullah berkata,
وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقُرْآنَ فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ
“Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah do’a dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj, 6/6, Mawqi’ Al Islam).
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia pernah ditanya,
“Kami mengetahui bahwa tidak boleh membaca Al Qur’an di dalam sujud. Lalu bagaimana dengan sebagian ayat yang mengandung do’a seperti ”Robbana laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa” [Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami]? Bagaimana hukum membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud?
Para ulama tersebut menjawab,
لا بأس بذلك إذا أتى بها على وجه الدعاء لا على وجه التلاوة للقرآن
“Seperti itu tidaklah mengapa jika ayat tersebut dibaca untuk maksud do’a, bukan maksud untuk membaca Al Qur’an” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan ketiga,fatwa no. 7921, 6/441)
Dari penjelasan ini, membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud itu dibolehkan selama niatannya bukanlah untuk tilawah, namun untuk berdo’a.
Semoga Allah memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Panggang-GK, 8 Rajab 1431 H, 21/06/2010
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Seperti telah kita pahami bersama bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud.
Dalil tentang hal ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan ruku’ atau sujud. Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim no. 479)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku untuk membaca (ayat Al Qur’an) ketika ruku’ dan sujud.” (HR. Muslim no. 480)
Lalu apa hikmah tidak boleh membaca Al Qur’an ketika ruku’ dan sujud?
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama.
Ada ulama yang menyatakan bahwa sebaik-baik rukun shalat adalah berdiri dan sebaik-baik bacaan adalah Al Qur’an. Karenanya, yang afdhol ini ditempatkan pada yang afdhol. Sedangkan Al Qur’an tidak diperkenankan dibaca di tempat lainnya agar tidak disangka bahwa Al Qur’an punya kedudukan yang sama dengan dzikir lainnya.
Ada pula ulama yang menyatakan bahwa ruku’ dan sujud adalah dua keadaan di mana seseorang tunduk dan hina di hadapan Allah, sehingga bacaan yang lebih pantas ketika itu adalah do’a dan bacaan tasbih. Oleh karena itu, terlarang membaca Al Qur’an ketika sujud dalam rangka untuk mengagungkan Al Qur’an dan untuk memuliakan yang membacanya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/91)
Lalu bagaimana membaca do’a yang diambil dari Al Qur’an ketika sujud?
Jawabnya, hal ini tidaklah mengapa. Kita boleh saja berdo’a dengan do’a yang bersumber dari Al Qur’an. Seperti do’a sapu jagad,
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Al Baqarah: 201).
Atau do’a agar diberikan keistiqomahan,
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Alasannya karena niatan ketika itu adalah bukan untuk tilawah Al Qur’an, namun untuk berdo’a. Nabi shallallahu ‘a
laihi wa sallam pun bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Setiap amalan tergantung pada niat. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907).
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Az Zarkasyi rahimahullah berkata,
وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقُرْآنَ فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ
“Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah do’a dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj, 6/6, Mawqi’ Al Islam).
Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia pernah ditanya,
“Kami mengetahui bahwa tidak boleh membaca Al Qur’an di dalam sujud. Lalu bagaimana dengan sebagian ayat yang mengandung do’a seperti ”Robbana laa tuzigh quluubana ba’da idz hadaitanaa” [Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami]? Bagaimana hukum membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud?
Para ulama tersebut menjawab,
لا بأس بذلك إذا أتى بها على وجه الدعاء لا على وجه التلاوة للقرآن
“Seperti itu tidaklah mengapa jika ayat tersebut dibaca untuk maksud do’a, bukan maksud untuk membaca Al Qur’an” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, pertanyaan ketiga,fatwa no. 7921, 6/441)
Dari penjelasan ini, membaca do’a yang berasal dari Al Qur’an ketika sujud itu dibolehkan selama niatannya bukanlah untuk tilawah, namun untuk berdo’a.
Semoga Allah memberikan tambahan ilmu yang bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Panggang-GK, 8 Rajab 1431 H, 21/06/2010
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Keyakinan dalam Berdoa
Keyakinan dalam Berdoa
Hadith :
Dari Anas r.a katanya:”Rasulullah saw bersabda:”Apabila kamu berdoa, hendaklah kamu bersungguh-sungguh, yakin dalam doa (bahawa Allah taala mendengar dan mengabulkan). Janganlah kamu berdoa dengan kalimah:”Ya Allah, jika Engkau mahu, berilah aku!” Kerana sesungguhnya Allah Taala tidak dipaksa memenuhi sesuatu doa.”
Huraian
Sesorang muslim itu hendaklah bersemangat (untuk mencapai) apa yang bermanfaat untuk dirinya serta meminta pertolongan kepada Allah tanpa merasa lemah dan putus asa. Berdoa mestilah mengikut adab-adabnya supaya menampakkan kesungguhan harapan untuk mendapatkan sesuatu kerana Allah SWT hanya akan menerima doa dari orang yang betul-betul berhajat.
Hadith :
Dari Anas r.a katanya:”Rasulullah saw bersabda:”Apabila kamu berdoa, hendaklah kamu bersungguh-sungguh, yakin dalam doa (bahawa Allah taala mendengar dan mengabulkan). Janganlah kamu berdoa dengan kalimah:”Ya Allah, jika Engkau mahu, berilah aku!” Kerana sesungguhnya Allah Taala tidak dipaksa memenuhi sesuatu doa.”
Huraian
Sesorang muslim itu hendaklah bersemangat (untuk mencapai) apa yang bermanfaat untuk dirinya serta meminta pertolongan kepada Allah tanpa merasa lemah dan putus asa. Berdoa mestilah mengikut adab-adabnya supaya menampakkan kesungguhan harapan untuk mendapatkan sesuatu kerana Allah SWT hanya akan menerima doa dari orang yang betul-betul berhajat.
Saintis USA buktikan Nabi Musa belah laut
BOULDER, Amerika Syarikat (AS) – Saintis-saintis di AS membuktikan kebenaran kisah Nabi Musa membelah laut seperti yang diceritakan dalam kitab suci al-Quran dan Injil, lapor sebuah akhbar semalam.
Satu kajian oleh sepasukan penyelidik yang diketuai saintis Carl Drews dari Pusat Penyelidikan Atmosfera Nasional di sini, mendapati fenomena itu tidak bercanggah dengan hukum fizik.
Kitab al-Quran menceritakan bahawa Nabi Musa membelah laut dengan menghentakkan tongkatnya ke tanah semasa baginda dan kaum Bani Israel terperangkap di antara pasukan tentera Firaun yang sedang mara dan laut di hadapan mereka.
Kumpulan saintis itu yang mengkaji beberapa peta kuno Delta Sungai Nil mendapati laut terbelah itu merujuk kepada sebuah lagun yang kini dikenali sebagai Tasik Tanis di selatan Laut Mediterranean dekat Laut Merah dan satu cawangan Sungai Nil.
Kini, dengan menggunakan simulasi komputer, saintis-saintis itu menunjukkan bahawa laut berkenaan terbelah dua melalui proses tiupan angin kencang yang dikenali sebagai angin timur bertiup selaju 100.8 kilometer sejam (km/j) selama 12 jam menyebabkan aliran air sungai dan lagun itu berpusing balik lalu membentuk seperti dinding air.
Satu model lautan komputer kemudian digunakan sebagai simulasi bagi melihat kesan angin yang bertiup semalamam ke atas air sedalam beberapa meter itu.
Selama empat jam, tiupan angin tersebut menghasilkan jambatan darat sepanjang 3.2 kilometer (km) dan selebar 4.8km.
Sejurus selepas angin timur reda, air lagun dan sungai itu kembali mengalir ke tempat asal seperti ombak tsunami.
Hasil kajian saintis berkenaan disiarkan di Internet oleh Jurnal Public Library of Science ONE. – Agensi
Satu kajian oleh sepasukan penyelidik yang diketuai saintis Carl Drews dari Pusat Penyelidikan Atmosfera Nasional di sini, mendapati fenomena itu tidak bercanggah dengan hukum fizik.
Kitab al-Quran menceritakan bahawa Nabi Musa membelah laut dengan menghentakkan tongkatnya ke tanah semasa baginda dan kaum Bani Israel terperangkap di antara pasukan tentera Firaun yang sedang mara dan laut di hadapan mereka.
Kumpulan saintis itu yang mengkaji beberapa peta kuno Delta Sungai Nil mendapati laut terbelah itu merujuk kepada sebuah lagun yang kini dikenali sebagai Tasik Tanis di selatan Laut Mediterranean dekat Laut Merah dan satu cawangan Sungai Nil.
Kini, dengan menggunakan simulasi komputer, saintis-saintis itu menunjukkan bahawa laut berkenaan terbelah dua melalui proses tiupan angin kencang yang dikenali sebagai angin timur bertiup selaju 100.8 kilometer sejam (km/j) selama 12 jam menyebabkan aliran air sungai dan lagun itu berpusing balik lalu membentuk seperti dinding air.
Satu model lautan komputer kemudian digunakan sebagai simulasi bagi melihat kesan angin yang bertiup semalamam ke atas air sedalam beberapa meter itu.
Selama empat jam, tiupan angin tersebut menghasilkan jambatan darat sepanjang 3.2 kilometer (km) dan selebar 4.8km.
Sejurus selepas angin timur reda, air lagun dan sungai itu kembali mengalir ke tempat asal seperti ombak tsunami.
Hasil kajian saintis berkenaan disiarkan di Internet oleh Jurnal Public Library of Science ONE. – Agensi
Adab di dalam Rumah
* Ketahuilah bahwa Rasulullah SAW berada dalam tuntunan yang paling sempurna, jalan beliau adalah jalan yang paling terbaik, pada saat beliau menyadari bahwa dunia adalah tempat untuk berjalan bukan tempat menetap, maka beliau menjadikannya tempat tinggal sebatas kebutuhan, baik untuk menutupi diri dari pandangan orang, menghindarkan diri dari bahaya panas, dingin, hujan dan angin serta menjaga apa yang hidup padanya dari binatang piaraan dan yang lainnya, beliau tidak menghiasi dan membangunnya, rumah beliau bukanlah rumah yang megah sehingga orang lain takut jika dia hancur dan tidak pula menjulang tinggi sehingga menjadi tempat bagi sarang binatang, menjadi sasaran hembusan angin kencang, dan bukanlah ia rumah bawah tanah sehingga menyerupai rumah para diktator-diktator terdahulu, bahkan mungkin mengganggu orang yang tinggal padanya karena minim dan kosongnya oksigen, sinar matahari dan diselimuti kegelapan atau menjadi hunian mahluk-makhluk, rumah Nabi Muhammad SAW adalah rumah sederhana yang baik, harum karena keringat atau bau beliau sendiri.[1]
* Umar RA berkata di atas mimbar: Wahai sekalian manusia perbaikilah tempat tinggalmu, dan jauhilah binatang yang selalu bersembunyi ini (ular) sebelum dia menjadikan kamu takut…)
* Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bagi rumah-rumah tersebut kehormatan, firman Allah SWT:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ ِللنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرَّ بِأَنْ تَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلكِنَّ اْلبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Waktu bagi manusia dan (bagi ibadat hajji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.[2]
* Saat keluar dari rumah dianjurkan membaca:
بِسْمِ اللهِ تَـوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah dan tiada daya dan upaya kecuali seizin Allah”.[3]
* Saat memasuki rumah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىَ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا
“Dengan menyebut nama Allah kami memasuki rumah, dengan menyebut nama Allah kami keluar dan kepada Allah kami berserah diri”. Kemudian mengucapkan salam kepada keluarganya.[4]
* Tidak bermegah-megah dalam membangun rumah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ
“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun”.[5]
* (Dianjurkan) membangun rumah yang luas, berdasarkan sabda Nabi:
سَعَادَةُ اْلمَرْءِ اْلمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِي
“Kebahagian seseorang pada rumah yang luas, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang menyenangkan”.[6]
* Aktifitas seorang lelaki di rumahnya, Aisyah radhiallahu anha pernah ditanya tentang: Apakah yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam rumah keluarganya? “Beliau mengerjakan apa yang dikerjakan oleh keluarganya dan jika waktu shalat telah tiba maka beliau keluar (menuju shalat)”.[7] Jawab Aisyah. Beliau juga berkata: “Beliau adalah seorang manusia biasa, mencuci pakaiannya dan memerah susu kambingnya”.[8]
* Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَنْـفَقَ نَفَقَـةً عَلىَ أَهْلِهِ وَهُـوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Barangsiapa yang memberikan nafkah bagi keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka hal itu shadaqah baginya”.[9]
* Beliau juga bersabda:
إِنَّكُمْ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغَِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِّرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhya kalian tidak memberikan nafkah (kepada keluargamu) untuk mengharap pahala dari Allah kecuali engkau pasti diberikan pahala karenanya sampai pada apa yang engkau letakkan pada mulut istrimu”.[10]
* Mematikan lampu, berdasarkan sabda Nabi muhammad SAW:
أَغْلِقُـوْا اْلأَبْوَابَ وَأَوْكُوْا السِّقَاءَ وَاكْـفِئُوْا اْلإِنَاءَ وَخَمِّرُوْا اْلإِنَاءَ وَأَطْفِـئُوْا الْمِصْبَاحَ إِنَّ الشَّـيْطَانَ لاَ يَفْتَـحُ غَلْقًا وَلاَ يُحِلُّ وِكَاءً وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تَضْرِم ُعلَىَ النَّاسِِ بَيْتَهُمْ
“Tutuplah pintu, baringkanlah botol tempat minummu, baliklah bejanamu, padamkanlah lampu, sesungguhnya setan tidak membuka yang tertutup, tidak menempati tempat minum (yang dibaringkan) dan tidak pula membuka bejana (yang dibalik) sesungguhnya bintang kecil yang nakal (tikus) bisa menybebkan kebakaran pada rumah seseorang”.[11]
* Tidak membiarkan api menyala di dalam rumah pada waktu akan tidur, suatu malam sebuah rumah penduduk kota Madinah terbakar, lalu Nabi menceritakan tentang kejadian tersebut, maka beliau mengingatkan:
إِنَّ هذِهِ النَّارَ عَدُوٌّ لَكُمْ فَإِنْ نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ
“Sesungguhnya api ini adalah musuh bagimu, maka jika kalian tidur padamkanlah api tersebut dari rumahmu”.[12]
* Dianjurkan menggantungkan cemeti di rumah, sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk menggantungkan cemeti di rumah.
* Menutup pintu pada malam hari tiba, sebab Nabi SAW bersabda:
كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ عِنْدَ فَحْمَةِ اْلعِشَاءِ وَإِيَّاكُمْ وَالسَّمْرَ بَعْدَ هِدْأَةِ الرِّجْلِ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ مَا يَبُثُّ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ ؟ فَأَغْلِقُوْا اْلأَبْوَابَ وَأَطْفِئُوْا اْلمِصْبَاحَ وَأَكْفِـئُوْا اْلإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ
“Tahanlah anak-anakmu berkeliaran pada saat kegelapan waktu isya’ dan berjaga-jaga setelah tenangnya gerakan kaki, sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang dimunculkan oleh Allah dari mahluk ciptaan -Nya, maka tutuplah pintu-pintu, matikanlah lampu-lampu, baliklah bejana-bejanamu dan baringkanlah botol-botol minummu”.[13]
* Menahan anak-anak kecil pada waktu isya’, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ حَتَّى تَذْهَبَ فَحْمَةُ أَوْ فَوْرَةُ الْعِشَاءِ سَاعَةً تَهُبُّ الشَّيَاطِيْنُ
“Tahanlah anak-anakmu sampai berlalunya malam atau menghilangnya waktu isya’; pada saat setan-setan sedang bergentayangan”.[14]
* Imam Bukhari rahimhullah menulis: Babut Tabarruz fil Buyut (Bab membuang hajat di dalam rumah). Ibnu Hajar rahimhullah berkata: Pengarang menulis bab ini untuk memberikan penjelasan bahwa keluarnya wanita untuk membuang hajat di luar rumah tidak berlangsung secara terus menerus, akan tetapi pada masa selanjutnya dibangunlah WC di dalam rumah, akhirnya tidak dibutuhkan kembali keluar rumah untuk membuang hajat.
Majid bin Su'ud al-‘Ausyan
* Umar RA berkata di atas mimbar: Wahai sekalian manusia perbaikilah tempat tinggalmu, dan jauhilah binatang yang selalu bersembunyi ini (ular) sebelum dia menjadikan kamu takut…)
* Sesungguhnya Allah SWT menjadikan bagi rumah-rumah tersebut kehormatan, firman Allah SWT:
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ ِللنَّاسِ وَاْلحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرَّ بِأَنْ تَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا وَلكِنَّ اْلبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوْا اْلبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوْااللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Waktu bagi manusia dan (bagi ibadat hajji); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang-orang bertaqwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.[2]
* Saat keluar dari rumah dianjurkan membaca:
بِسْمِ اللهِ تَـوَكَّلْتُ عَلىَ اللهِ وَلاَحَوْلَ وَلاَ قُـوَةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan menyebut nama Allah, aku berserah diri kepada Allah dan tiada daya dan upaya kecuali seizin Allah”.[3]
* Saat memasuki rumah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ وَلَجْنَا بِسْمِ اللهِ خَرَجْنَا وَعَلىَ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا
“Dengan menyebut nama Allah kami memasuki rumah, dengan menyebut nama Allah kami keluar dan kepada Allah kami berserah diri”. Kemudian mengucapkan salam kepada keluarganya.[4]
* Tidak bermegah-megah dalam membangun rumah, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَطَاوَلَ النَّاسُ فِي الْبُنْيَانِ
“Hari kiamat tidak akan terjadi sampai manusia bermegah-megahan dalam membangun”.[5]
* (Dianjurkan) membangun rumah yang luas, berdasarkan sabda Nabi:
سَعَادَةُ اْلمَرْءِ اْلمَسْكَنُ الْوَاسِعُ وَالْجَارُ الصَّالِحُ وَالْمَرْكَبُ الْهَنِي
“Kebahagian seseorang pada rumah yang luas, tetangga yang shaleh dan kendaraan yang menyenangkan”.[6]
* Aktifitas seorang lelaki di rumahnya, Aisyah radhiallahu anha pernah ditanya tentang: Apakah yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW di dalam rumah keluarganya? “Beliau mengerjakan apa yang dikerjakan oleh keluarganya dan jika waktu shalat telah tiba maka beliau keluar (menuju shalat)”.[7] Jawab Aisyah. Beliau juga berkata: “Beliau adalah seorang manusia biasa, mencuci pakaiannya dan memerah susu kambingnya”.[8]
* Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَنْـفَقَ نَفَقَـةً عَلىَ أَهْلِهِ وَهُـوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةً
“Barangsiapa yang memberikan nafkah bagi keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka hal itu shadaqah baginya”.[9]
* Beliau juga bersabda:
إِنَّكُمْ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغَِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِّرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ
“Sesungguhya kalian tidak memberikan nafkah (kepada keluargamu) untuk mengharap pahala dari Allah kecuali engkau pasti diberikan pahala karenanya sampai pada apa yang engkau letakkan pada mulut istrimu”.[10]
* Mematikan lampu, berdasarkan sabda Nabi muhammad SAW:
أَغْلِقُـوْا اْلأَبْوَابَ وَأَوْكُوْا السِّقَاءَ وَاكْـفِئُوْا اْلإِنَاءَ وَخَمِّرُوْا اْلإِنَاءَ وَأَطْفِـئُوْا الْمِصْبَاحَ إِنَّ الشَّـيْطَانَ لاَ يَفْتَـحُ غَلْقًا وَلاَ يُحِلُّ وِكَاءً وَلاَ يَكْشِفُ إِنَاءً وَإِنَّ الْفُوَيْسِقَةَ تَضْرِم ُعلَىَ النَّاسِِ بَيْتَهُمْ
“Tutuplah pintu, baringkanlah botol tempat minummu, baliklah bejanamu, padamkanlah lampu, sesungguhnya setan tidak membuka yang tertutup, tidak menempati tempat minum (yang dibaringkan) dan tidak pula membuka bejana (yang dibalik) sesungguhnya bintang kecil yang nakal (tikus) bisa menybebkan kebakaran pada rumah seseorang”.[11]
* Tidak membiarkan api menyala di dalam rumah pada waktu akan tidur, suatu malam sebuah rumah penduduk kota Madinah terbakar, lalu Nabi menceritakan tentang kejadian tersebut, maka beliau mengingatkan:
إِنَّ هذِهِ النَّارَ عَدُوٌّ لَكُمْ فَإِنْ نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ
“Sesungguhnya api ini adalah musuh bagimu, maka jika kalian tidur padamkanlah api tersebut dari rumahmu”.[12]
* Dianjurkan menggantungkan cemeti di rumah, sesungguhnya Nabi memerintahkan untuk menggantungkan cemeti di rumah.
* Menutup pintu pada malam hari tiba, sebab Nabi SAW bersabda:
كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ عِنْدَ فَحْمَةِ اْلعِشَاءِ وَإِيَّاكُمْ وَالسَّمْرَ بَعْدَ هِدْأَةِ الرِّجْلِ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ مَا يَبُثُّ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ ؟ فَأَغْلِقُوْا اْلأَبْوَابَ وَأَطْفِئُوْا اْلمِصْبَاحَ وَأَكْفِـئُوْا اْلإِنَاءَ وَأَوْكُوا السِّقَاءَ
“Tahanlah anak-anakmu berkeliaran pada saat kegelapan waktu isya’ dan berjaga-jaga setelah tenangnya gerakan kaki, sesungguhnya kalian tidak mengetahui apa yang dimunculkan oleh Allah dari mahluk ciptaan -Nya, maka tutuplah pintu-pintu, matikanlah lampu-lampu, baliklah bejana-bejanamu dan baringkanlah botol-botol minummu”.[13]
* Menahan anak-anak kecil pada waktu isya’, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW:
كُفُّوْا صِبْيَانَكُمْ حَتَّى تَذْهَبَ فَحْمَةُ أَوْ فَوْرَةُ الْعِشَاءِ سَاعَةً تَهُبُّ الشَّيَاطِيْنُ
“Tahanlah anak-anakmu sampai berlalunya malam atau menghilangnya waktu isya’; pada saat setan-setan sedang bergentayangan”.[14]
* Imam Bukhari rahimhullah menulis: Babut Tabarruz fil Buyut (Bab membuang hajat di dalam rumah). Ibnu Hajar rahimhullah berkata: Pengarang menulis bab ini untuk memberikan penjelasan bahwa keluarnya wanita untuk membuang hajat di luar rumah tidak berlangsung secara terus menerus, akan tetapi pada masa selanjutnya dibangunlah WC di dalam rumah, akhirnya tidak dibutuhkan kembali keluar rumah untuk membuang hajat.
Majid bin Su'ud al-‘Ausyan
Langgan:
Catatan (Atom)